Sabtu, 14 Februari 2009

LEMARI


Aku tumbuh di daerah yang subur tanahnya dengan pepohonan yang rimbun daun-daunnya, udara yang masih bersih jauh dari polusi udara akibat dari kendaraan bermotor, asap-asap pabrik, efek dari rumah kaca, gedung-gedung bertingkat. Setiap pagi kurasakan dinginnya kabut turun dari atas bukit, sejuknya embun pagi yang melekat didiriku, hangatnya sinar matahari, hidup ini begitu indah dan nyaman kurasakan.
“Bu, pagi ini sangat cerah dan merasakan kehangatan sinar matahari tidak seperti hari-hari kemarin selalu hujan, kenapa kamu mengeluh, aku tidak mengeluh, jawab ku.”
“Bu, aku ingin bertanya, tanya apa? Apa nama jenisku, Jati, lalu kenapa para manusia menebangi saudara-saudara kita, untuk dipergunakan menjadi sesuatu yang mereka butuhkan, menjadi apa, tanyaku lagi. Ibu sendiri tidak tahu, kata pak Burung kita akan dijadikan Lemari, Pintu, Mebel atau lainnya. Bila nanti sudah waktunya kau akan tahu akan dijadikan apa oleh Manusia, jawab ibuku.”
“Kapan waktunya Bu, nanti setelah batangmu tumbuh lebih besar dan umur mu sudah cukup – apa Ibu akan meninggalkan aku dalam waktu dekat ini, pada saat tiba waktunya nanti Ibu ingin kamu tidak bersedih, tapi kamu harus bersyukur karena kita tempat berteduh dan tinggal untuk hewan-hewan kecil yang berada di bawah kita, dan persinggahan para kawananBurung sebelum melanjutkan perjalan mereka.”
“Coba kamu perhatikan sekitarmu, yang besar selalu memangsa yang kecil, itu karena sudah hukum rimba, dimana yang kuat akan mengalahkan yang lemah – begitu pula dengan kita, manusia akan menebang kita untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka. Bukankah kita berada dikawasan hutan yang di lindungi – tapi kenapa para Manusia itu selalu menebang, meraka itu penebang liar yang hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan kelestarian alam ini, jawab Ibuku.”
***
Setiap kali kulihat saat tangan-tangan kotor mereka menebangi teman-teman ku yang sedang tidur, rasanya ingin ku balas perbuatan mereka, tapi dengan cara apa aku akan membalas mereka. Aku hanyalah sebuah pohon yang tidak dapat mencegah perbuatan meraka, kadang ku merenung betapa kejamnya hidup ini dimana yang kuat akan berkuasa atas segalanya, aku berharap masih ada Manusia-manusia yang masih mempunyai hati nurani untuk melindungi kami yang hidup dihutan ini.
“Jati, kenapa kamu murung, semalam aku telah kehilangan Ibuku pak Burung, aku turut bersedih, ini sudah takdir yang harus diterima, aku besedih karena disampingku sudah tidak ada siapa-siapa lagi, aku merasa sendiri pak, sahutku.”
“Sesuai dengan nama mu kamu harus kuat, hidup ini harus terus berjalan dan kita akan memainkan peranan kita masing-masing – pada saatnya nanti kau akan tahu peran apa yang akan kamu lakoni, terima kasih pak Burung, kini hati ku sudah lebih tenang. Nikmatilah hidup ini selagi kita masih bernafas dengan sebaik-baiknya.”
***
Tidak terasa kini usiaku sudah semakin matang dan aku sudah banyak melihat kehidupan disekitarku, kini aku telah mempunyai tunas, aku akan menceritakan padanya tentang hidup ini sebagaimana dulu Ibu ku dan pak Burung bercerita padaku. Aku merasa waktuku sudah tidak lama lagi, malam itu aku terjaga – apa mereka para penebang liar, jika kulihat dari penampilan mereka aku tidak salah meraka memang benar para penebang liar.
Dug, dug, mereka menebangku dan mengikatku dengan tambang, aku di bopong oleh beberapa orang untuk membawaku keluar dari hutan ini. Setelah keluar dari hutan – ku dibawa dengan menggunakan truk, aku tidak tahu akan dibawa kemana dan akan dijadikan apa aku nanti, aku hanya bisa pasrah.
“Mas, berapa harga lemari ini, Lima Juta pak, mahal sekali, ini kayu Jati asli pak, kuat dan tahan lama saya jamin bapak tidak akan rugi, turunin dong harganya jangan segitu, ini sudah murah pak, kalau sama orang lain saya kasih harga lebih tinggi dari bapak, karena bapak langganan di took saya jadi saya kasih harga special, sahut pemilik took.”
“Gimana Bu, lemarinya bagus pak, Ibu suka dengan desainnya – karena Isteri saya suka , saya ambil lemarinya Mas, nanti sore bisa langsung antar kerumah, bisa pak, jawab pemilik toko.”
***
Kini aku tinggal ditempat yang baru, tempat yang sangat jauh dari tempatku tinggal dahulu. Disini aku bisa merasakan hawa sejuk dari mesin kotak yang terpasang di dinding atas tepat diseberang ku berada. Aku akan selalu merindukan kehidupan dihutan tempat dimana aku tumbuh, aku sendiri tidak tahu akan berapa lama aku akan disini, hidup berdampingan dengan manusia. Kini aku sudah mendapatkan jawaban atas peranku sekarang adalah pelengkap ruangan dan di dalam tubuhku di gantungi baju-baju.
“Dimas, bagaimana menurut mu tentang lemari baru mu, bagus Bu, Dimas suka sekali, kalau begitu kamu harus bisa merapikan baju-baju mu sendiri ke dalam lemari dan Ibu tidak mau lihat lagi pakaian mu berantakan di kasur, baik Ibu ku yang cantik Dimas akan merapikan pakaian Dimas di lemari, Bu satu hal lagi, ada apa, Dimas boleh menempel poster bola di bagian dalam pintu lemari, boleh…, kamu atur sesukamu tapi ingat harus rapi, jawab Ibu pada Dimas.”
Melihat suasana keluarga ini aku sangat nyaman, dan aku bersyukur bisa menjadi bagian darinya walaupun peran ku sangat kecil tapi berguna sekali untuk Dimas.



By :
Yulinda Kumara Ramandini

Sabtu, 31 Januari 2009

Banjir


Musim hujan telah datang, kami harus siap – siap menyambut banjir kiriman dari Bogor, maklum tempat aku tinggal selalu langganan dapat banjir kiriman dari kota teteangga.
“Mo, perahu karet bantuan dari Bapak Walikota sudah datang ke kantor Rw? Sudah Pak, sahutku pada Pak Rt. Saya ingin kamu dan yang lain koordinasikan dengan baik sebelum banjir kiriman datang, selalu pantau debit pintu air Manggarai, beres Pak, kami akan siaga slalu setiap hari, sahut Anwar.”
***
Malam itu aku kembali bertemu dengan Ayu, gadis pujaan hatiku. Dia bekerja sebagai Guru di salah satu SMA Swasta di Jakarta Timur.
“Malam, tumben baru pulang?”
“Iya Mas tadi saya jenguk teman di rumah sakit sepulang ngajar, mari Mas saya permisi dulu.”
“Silahkan.” “Mo, kapan kamu akan menyatakan perasaan mu kepadanya, nanti keburu ada yang lamar lho.”
“Aku belum berani, memangnya kenapa War.”
“Menurut gossip yang beredar sekarang , Ayu sudah resmi putus dengan Edo tiga bulan yang lalu, berarti sekarang ini dia sudah jomblo, soal nanti kamu ditolak atau diterima itu nomor dua, yang pertama kamu harus berani. “Kamu benar, aku harus barani bilang aku cinta kamu .”
“Semangat Mo, aku dukung kamu Seribu Persen, ha ha…”
“Bisa aja kamu War.”
Setibanya dirumah aku langsung ke kamarku, ku ambil secarik kertas dan aku mulai menulis surat untuknya, tentang perasaanku selama ini kutulis singkat saja karna aku tidak jago dalam hal mengarang jadi kuambil salah satu puisi karya Sarjono untuk mewakili perasaan cintaku padanya.
“Aku ingin mencintai dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”
“Aku ingin mencintai dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat ku ucapkan, kayu kepada api yang menjadikannya abu.”
Kulipat suratku dan kumasukkan kedalam amplop. Besok surat ini akan ku sampaikan kepadanya atau kutitip pada Siti saja, bukankah dia mengajar di sekolah Siti. Esok paginya kubujuk Siti untuk mau menyampaikan suratku.
“Ogah Kak, kenapa Kakak tidak kasih sendiri?” “Ayolah Ti, tolong Kakak mu ini, bukannya aku takut ditolak tapi kamu tahukan sejarah cintaku. Kakak mu ini bukan pria yang selalu beruntung dalam hal cinta.” Dengan wajah memelas kuterus bujuk Siti.
“Ya udah kalau begitu, tapi hanya satu kali saja, Siti tidak mau kalau disuruh lagi.”
“Trims adikku yang cantik, uang posnya mana?” “Uang pos apa, kalau tidak ada uang pos Siti tidak mau, berapa?” “Lima puluh ribu!” “Banyak amat, jadi tidak? Iya jadi.”
“Siti yakin Bu Ayu akan terima cinta Kakak, karna dia tidak seperti gadis –gadis yang selama ini pernah Kakak pacari, Kakak bukan pria yang tidak beruntung tapi merekalah yang bodoh telah menghianati Kakak.”
“Terima kasih Dik, atas dukunganmu .”
Seminggu sudah aku menunggu, suratku belum jua dibalas olehnya. Hari ini hujan turun dengan lebatnya, aku harus bergegas di posko banjir karna menurut perkiraan banjir kiriman akan datang nanti malam.
“Anwar, mana Bimo kenapa belum datang juga dengan perahu karet.”
“Dia sedang evakuasi Pak Rw dan keluarganya sesuai dengan prosedur Pak, sahut Anwar.”
“Bapak kan tahu gimana Pak Rw kalau musim banjir tiba, kasihan Bimo pasti dia kena sakit kepala lagi, sahut Pak Rt.”
“Gila, Pak Rw bener – bener udah bikin kepala saya mau pecah, sabar Mo gitu – gitu dia ketua Rw kita, sahut Irwan.”
“Yang bikin saya pusing, saya harus jagain kelima anaknya yang masih kecil – kecil, satu bayi dan ketiga istrinya sampai ke Posko, udah sampai di Posko salah satu istrinya yang hamil tua mau melahirkan dan saya didaulat untuk jadi asisten bidan untuk bantu persalinan , suasana Posko jadi kacau gara – gara Pak Rw pingsan saat melihat darah istrinya yang melahirkan.”
“Sabar Mo, tugas kita malam ini masih panjang, kita harus bergegas evakuasi warga yang masih terperangkap dirumah karna air makin tinggi, utamakan ibu – ibu dan anak –anak ke Posko lebih dahulu, sahut Pak Rt.” “Baik Pak , sahut kami berlima.”

Sesampainya di Posko Siti datang menghampiriku. “Kak masih sibuk, tidak terlalu ada yang bisa Kakak bantu.” Sambil berbisik dia berkata “Bu Ayu ingin bicara dengan Kakak, itu pun kalau Kakak sudah tidak sibuk, dimana?” “Itu disana, ya udah sebentar lagi Kakak akan kesana.”
“Yu, udah lama nunggu, belum lama.” “Ada yang bisa saya bantu.”
“Aku sudah baca surat mu, puisinya bagus meskipun itu kamu kutip dari karya Sarjono, kok kamu tahu kalau itu bukan karya ku.”
“Apa kamu lupa, aku ini Guru Bahasa Indonesia, jujur aku lupa dan aku tidak bisa mengarang jadi ku kutip saja.”
“Aku sudah dengar dari Siti tentang kamu, aku harap kamu jangan marahi dia, aku tidak akan marahi dia karna kamu memang harus tahu tentang siapa aku .”
“Aku memang sengaja tidak membalas suratmu, setelah Siti cerita tentang kamu seminggu ini aku diam – diam memperhatikan kamu dari jauh.”
“Boleh aku tahu kesan mu terhadap aku.”
“Setelah kuperhatikan kamu itu orangnya baik dan cukup unik dalam arti kata kamu selalu berusaha menolong orang yang membutuhkan bantua darimu tanpa pamrih, meskipun orang itu membuat pusing dengan segala permintaannya. Sampai – sampai kamu tidak memperhatikan dirimu sendiri, sebenarnya aku mengenal dirimu dari cerita Edo dalam hati aku berkata beruntunglah wanita yang bisa menjadi istrimu kelak.”
“Lalu apa jawabanmu atas suratku.”
“Kita jalani dengan perlahan tapi pasti, karena aku sendiri suka sama kamu Bimo.”
Kulihat senyum manisnya yang selama ini telah berhasil membuat hatiku berbunga – bunga. Dengan mantap aku menjawab “Aku setuju jadi mulai hari ini kita pacaran dan aku ingin kita saling percaya .”
“Aku janji tidak akan merusak kepercayaan mu terhadap diriku karna aku merasa sangat bersyukur bisa mendapatkan cintamu.”
Hari ini hatiku merasa sangat senang, aku merasa telah memenangkan suatu peperangan besar dengan jatuh bangun aku mencari dewi cintaku tanpa mengenal rasa lelah. Ditengah banjir yang menggenangi wilayah tempat tinggal kami aku telah menemukan dewi cintaku yang selama ini selalu kurindu dan tak akan pernah kulepas . Aku ingin cintaku yang kurasakan saat ini tidak semu sehingga aku dapat merasakan kehangatannya dan merengkuhnya seumur hidupku. Kulihat Siti tersenyum padaku dan aku membalas senyumnya, aku bangga pada adikku dengan apa yang telah dia lakukan untuk membantu usahaku mendapatkan dewi cintaku.



By :
Yulinda Kumara Ramandini
Jiwa Yang Sunyi



Jauh sudah ku melangkah dan aku tidak tahu lagi kemana aku akan melangkah, jiwa dan ragaku telah letih tapi aku tidak bisa berhenti disini karena perjalananku masih panjang, masih banyak yang harus kulakukan dan aku harus bisa mencarinya. Mencari sesuatu atau seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya yang aku cari dan apa yang akan kuraih nanti hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Yang kurasa saat ini jiwaku yang sunyi, hampa, sendiri tanpa cinta dan kehangatan, aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Kadang aku merasa diriku tidak normal karena aku selalu menghindar dari hiruk pikuknya kehidupan ini. Almarhum Ayahku berpesan padaku “Keluarlah dari duniamu, kamu harus mencari pendamping hidup, kamu tidak bisa selamanya hidup sendiri seperti sekarang ini. Jangan kau tutup dunia luar karena tidak semuanya dunia luar itu kotor dan hina.”
Aku ingin melakukan itu tapi aku tidak tahu bagaimana caranya, aku hanya punya satu teman yaitu diriku sendiri yang selalu kupercaya. Aku bekerja di salah satu biro iklan ternama di Jakarta, tugasku hanya mencari inspirasi untuk produk yang akan dilempar ke pasar. Teman – teman kerjaku memberi julukan “The Untouchable” untuk diriku, aku sendiri tidak tahu maksud mereka apa sebenarnya, aku hanya menanggapinya dengan dingin saja.
Mungkin karena sikapku inilah yang menyebabkan mereka memberiku julukan seperti itu. Sengaja aku menutup diriku dengan dunia luar karena meraka sangat menyukai menikam temannya sendiri dari belakang dan itu sudah menjadi sifat dasar mereka. Aku sendiri merasa nyaman dengan duniaku, aku merasa bebas, tapi ada satu hal yang selalu mengganjal hatiku. Setelah ku merenung kutemukan jawabannya ialah “sekali lagi aku merasa jiwaku begitu sunyi” tanpa irama sedikitpun.
Benar kata Ayah, aku harus bisa keluar dari duniaku agar jiwaku tidak lagi sunyi. Hari ini ada karyawan yang baru masuk dan dia tempatkan untuk menjadi partnerku. Awalnya aku menolak keputusan Rudi karena selama ini aku terbiasa bekerja sendiri dalam mencari inspirasi, tapi Rudi berkehendak lain.
“Har, kamu tidak bisa seperti ini terus, aku temanmu dan ini perusahaanku dan aku sudah putuskan bahwa mulai hari ini kau akan punya partner. Jangan membantah karna aku yakin suatu saat nanti kamu akan berterima kasih atas apa yang kuputuskan saat ini.”
Setelah aku tahu partnerku seorang wanita, aku tahu apa maksud dibalik keputusan Rudi, temanku ini ingin aku membuka diriku terhadap dunia luar walaupun itu hanya sedikit. Partnerku termasuk tipe orang yang sedikit bicara banyak bekerja, namanya “Mumtaz”.
“Selamat bergabung di perusahaan kami, aku ingin kalian dapat bekerja sama dengan baik, sahut Rudi.”
“Terima kasih Pak, perkenalkan aku Harlan, saya Mumtaz, nama yang indah, sahutku.”
Kulihat ekspresi wajah Rudi, dia tersenyum padaku, sambil berbisik dia berkata”Langkah awal yang bagus sobat, aku yakin kau bisa membuatnya terkesan dengan caramu sendiri.”
Enam bulan telah berlalu, walaupun kami sering selisih pendapat tapi kami tetap kompak dalam mengambil keputusan untuk memuaskan para klien kami. Tanpa kusadari Mumtaz telah memasuki jiwaku yang sunyi untuk membuatnya lebih berwarna dari sebelumnya.
Baru kali ini aku merasa begitu nyaman saat berada di dekatnya, apa ini yang dinamakan orang “cinta”. Aku sendiri tidak tahu apa arti perasaan ini.
“Har malam ini kamu ada acara tidak, tidak! Memangnya kenapa?”
“Kebetulan aku punya dua tiket bioskop kamu maukan nonton bersamaku, kenapa tidak, sahutku.”
Hatiku merasa berwarna dan gemerlap, aku sudah dapat melangkah lebih jauh lagi untuk mengenal yang namanya dunia luar.
***
Hari ini udara terasa begitu sejuk menyapa wajahku dengan lembutnya. Aku ingin menemui Mumtaz untuk mengajaknya sekedar berjalan – jalan di Mall sambil makan siang karena hari ini hari minggu yang cerah. Betapa terkejutnya aku sesampainya aku dirumah Mumtaz, kulihat Rudi sedang mengecup kening Mumtaz dengan penuh rasa cinta.
“Apa yang kau lakukan Rud!! Sahutku dengan nada marah.”
Rudi sangat terkejut mendengar suaraku dengan kerasnya, lalu dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Har, aku akan jelaskan semuanya padamu.”
“Apa yang akan kau jelaskan padaku, selama ini kau tahu perasaanku pada Mumtaz, tapi kenapa kau menikamku dari belakang.”
“Aku minta maaf Harlan, selama ini aku telah membohongimu, aku lakukan ini semua hanya semata – mata untuk membuka mata dan hatimu untuk lebih mengenal indahnya dunia luar.”
“Apa maksudmu jangan berbelit – belit , Rud.”
“Mumtaz adalah tunanganku dan dia sebenarnya seorang Psikolog.”
“Apa menurutmu selama ini aku tidak waras.”
“Secara tidak langsung ‘Ya’ karna kamu hidup di duniamu sendiri, apa kamu lupa di dunia ini kita tidak bisa hidup sendiri. Tapi kamu! Begitu asyik dengan duniamu tanpa memperhatikan sekelilingmu bahkan aku temanmu sendiri tidak pernah kau perdulikan.”
“Jadi itu pendapatmu tentang aku, Rud!”
“Kau salah Harlan! Sejak SD dan sampai sekarang kau tetap menjadi Harlan yang jenius, dengan kepintaranmu kamu tidak perlu lagi orang lain, kau anggap mereka seperti lalat yang selalu mengganggumu.”
“Aku tidak ingin Harlan yang seperti itu, yang aku inginkan dan almarhum kedua orang tuamu inginkan adalah kamu dapat berinteraksi dengan dunia luar, dengan kepintaranmu tanpa keegoisanmu.”
“Memang aku akui caraku ini begitu kotor dimatamu, karena kupikir hanya ini cara satu – satunya yang ampuh.”
Tanpa kusadari air mataku membasahi pipiku, mungkin ini yang pertama kalinya aku dapat menangis lagi, sejak Ibuku meninggal waktu aku kelas Tiga SD aku tidak pernah menangis lagi seperti anak – anak yang lainya seusiaku saat itu.
“Kau tidak salah Rud, kamu benar aku memang harus berterima kasih padamu atas jerih payahmu selama ini hanya untuk membuka diriku terhadap dunia luar.”
“Aku minta maaf pada kalian berdua, tidak masalah Har, kita akan selalu bersahabat dalam suka ataupun duka sampai ajal menjemput, sahut Rudi.”
Hari ini aku telah terlahir kembali sebagai Harlan yang baru dengan dunianya yang penuh dengan warna, berkat temanku kini jiwaku tidak lagi sunyi dan aku dapat menatap indahnya dunia ini dengan gejolak jiwa yang berirama dan berwarna.




By :
Yulinda Kumara Ramandini
SIAPA SUAMIKU

Ya Allah, hamba memohon padaMu kuatkanlah iman hambaMu yang hina ini dalam menghadapi cobaan hidup ini. Pada saat saya mengetahui kebenaran yang menyatakan Rai suamiku adalah seorang “gay”, apa yang selama ini kulihat itu tidak benar, orang yang sering bersama Rai direstoran hanyalah relasinya saja.
Saya bingung mana yang harus kupercaya, kata hati atau apa yang selama ini kulihat dan kudengar, suatu hari Rai pernah memperkenalkan saya dengan Sam sebagai relasinya bahkan dia pernah mengundangnya kerumah hanya untuk sekedar makan malam bersama kami. Tapi Surti pembantu sebelah rumah pernah bercerita padaku kalau dia melihat suamiku sedang bermesraan didalam mobil seorang pria yang ia tidak kenal, malam itu mobil Camry biru metalik berhenti tepat diseberang rumah majikannya. Dia melihat dari beranda lantai dua, hari itu saya hanya tahu kalau mobil Rai rusak dan harus masuk bengkel, saat dibengkel dia bertemu dengan Sam kemudian ia menawarkan jasanya untuk mengantar Rai pulang kerumah.
Saya sempat tidak percaya dengan apa yang kudengar dari mulut Surti, ternyata bukan hanya Surti saja yang pernah melihat suamiku bermesraan dengan Sam. Burhan teman dekatku juga pernah menyaksikan kemesraan mereka berdua disebuah Club malam yang cukup terkenal di Bali.
Setelah mendengar semua itu saya mulai meragukan Rai apakah dia pria normal atau “gay”. Apakah pernikahanku selama ini hanyalah panggung sandiwara yang dimana saya hanya mendapat peran pembantu saja sedangkan suamiku dan Sam sebagai actor utama dan sekaligus sutradaranya. Sayapun mulai menyelidiki kebenarannya, saya harus tahu meskipun itu akan sangat menyakitiku.
***
“Sayang.., hari ini aku ada meeting dan itu akan lama.”
“Rai kamu meeting di Jakarta atau luar kota”.
“Dikantor! Jadi kamu ke Bandung jenguk Eyang.”
“Jadi Rai, ini aku sudah siap. Berapa hari rencananya kamu akan dirumah Eyang.”
“Mungkin seminggu, kenapa? Kangen ya kalau aku tinggal lama dirumah Eyang.”
“Ya kangen dong, kamu kan istriku masak aku kangen sama orang lain yang bukan muhrimku. Sebelum aku ke kantor aku antar kamu dahulu ke stasiun.”
“Sayang jangan lupa sesampainya kamu dirumah Eyang telepon atau sms aku.”
“Ya, kamu tidak perlu khawatir setelah aku sampai dirumah Eyang aku akan langsung sms kamu, karena aku tidak mau mengganggu meeting kamu.”
“Kamu tahu, selama ini aku menikah dengan wanita yang tepat.”
“Maksudmu apa, apa sekarang kamu sedang merayuku”
“Aku berkata jujur bahwa kamu adalah istri yang paling mengerti tentang aku .”
“Rai terimakasih atas pujianmu ini, lalu kukecup keningnya.”
***
Setelah dua hari ku di Bandung, tidak bisa membuat hatiku menjadi lebih tentram, yang ku rasa justru hatiku merasa lebih galau, saya merasa sesuatu telah terjadi di Jakarta. Dengan alasan Rai sudah kangen padaku, saya minta ijin ke pada Eyang untuk kembali ke Jakarta. “Eyang hari saya pamit ke Jakarta semalam mas Rai telepon katanya dia udah kangen . Ya udah kalau begitu salam buat suamimu, hati – hati di jalan”. Sengaja aku tidak memberitahu Rai perihal aku pulang ke Jakarta lebih cepat dari rencana semula.
***
Hari ini hujan turun dengan derasnya, sepanjang perjalanan hatiku tidak jua mau tenang. Setelah sampai dirumah hujan tidak jua berhenti, saya lihat mobil Rai ada di garasi berarti dia sekarang ada dirumah, dari luar kulihat sepertinya Rai tidak sendiri. Saya penasaran sebenarnya Rai sedang bersama siapa, bukankah seharusnya pada sekarang ini dia masih di kantor, apa dia sakit jadi tidak kekantor. Tapi tadi dalam perjalan ke Jakarta saya sempat telepon ke kantornya dan menurut sekretarisnya Rai ada meeting diluar dan hari ini tidak ke kantor, akhirnya kuputuskan untuk memberanikan diri melihat secara sembunyi sebenarnya saat ini dia sedang bersama siapa .
***
Bagai disambar “petir” saya melihat mereka bermesraan diruang tamu, ternyata selama ini apa yang dikatakan Surti dan Burhan benar adanya. Saat itu saya merasa seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya, inginku menjerit tapi suaraku nyaris tidak terdengar, air mataku membasahi kedua pipiku. Saya bingung, saya harus mengadu pada siapa, tanpa ku sadari telah kulangkahkan kakiku dari rumah yang selama ini kuanggap tempat ku berlindung dari panasnya matahari dan derasnya hujan. Dalam derasnya hujan ku terus berlari dan air mataku tidak jua mau berhenti, dipersimpangan jalan saya mulai menghentikan langkahku kemudian kuputuskan kalau malam ini saya tidur di hotel, lalu kupanggil taksi untuk membawaku ke sana.
***
Aku hanya bisa berkeluh kesah padaMu, kau telah mengetahui semua isi hatiku “note book ku sayang” yang selalu setia menemaniku dalam suka dan duka.
“Sayang.., ada pengantin baru datang. Iya sebentar aku mau menyimpan cerpenku dulu”.
“Hai apa kabar kalian berdua. Bagaimana dengan bulan madumu lancar Tan, sahutku.”
“Lancar dong..” dengan riangnya Tania bercerita pengalamannya berbulan madu di Venesia. Tanpaku sadari ternyata Rai membaca diaryku, yang kusimpan dalam note book. Setelah Tania dan Burhan pulang, Rai langsung bertanya padaku dengan suara Lantang!
“APA KAMU MERAGUKANKU SEBAGAI PRIA NORMAL!”
Kujawab dengan suara yang tidak kalah Lantangnya dari suara Rai “IYA! AKU MERAGUKANMU, DENGAN APA YANG KULIHAT SELAMA INI . RUMAH TANGGA YANG KITA JALANI SEBAGAI SUAMI ISTRI HANYA KAU JADIKAN KEDOK UNTUK MENUTUPI KELEMAHANMU DI DEPAN SEMUA ORANG TERMASUK ORANG TUAMU SENDIRI DAN EYANG!”. Suara Rai kembali lembut.
“Pada saat kamu melihat aku dengan Sam diruang tamu, itu hanya pelukan perpisahan karena aku telah memutuskan untuk membina rumah tangga dengan mu, hanya denganmu bukan Sam atau lainnya. Tapi apa yang telah kamu lakukan selama ini tidak pernah memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku ingin menjadi suami yang baik.”
“Seorang pria normal yang ingin mencintai dan dicintai oleh wanita pujaan hatinya.”
Rai berusaha meyakinkan saya dengan semua argumennya, jauh didalam lubuk hatiku, semua argumennya belum membuatku merasa nyaman, saya merasa dia masih menyembunyikan sesuatu atau merahasiakan seseorang yang dia lindungi.
“Maafkan aku Rai telah meragukanmu, seharusnya saat itu aku bertanya langsung bukan membuat sugesti sendiri, sahutku.”
“Aku ingin mulai saat ini kita kembali merajut rumah tangga kita dari awal tanpa ada lagi kecurigaan, lupakan semua kejadian yang telah terjadi, kita anggap sebagai mimpi buruk. Sayang, aku yakin kita bisa melalui ini bersama dengan menumbuhkan rasa saling percaya, dan aku mau tidak ada jarak diantara kita.”
“Aku setuju Rai, aku sebagai istri hanya menginkan rumah tangganya bisa awet sampai ajal memisahkan kita.”
“Terima kasih istriku, kau mau mengerti diriku. Aku janji padamu bahwa mulai saat ini dan selamanya hanya istriku seorang yang ku cinta seumur hidupku.”
***
Tiga bulan telah berlalu semenjak kejadiaan hari itu, tidak juga kutemukan rasa nyaman, tentram, hangat saat bersama Rai justru yang ku temukan adalah rasa dingin yang menusuk tulang saat berada diatas puncak gunung es abadi. Sudah ku putuskan dengan bulat bahwa saya akan menyelidiki Rai lebih jauh lagi.
Kali ini saya akan menyamar menjadi seorang pria,”pria gay” tentunya. Saya harus bergaya sebaik mungkin untuk dapat memikat perhatian Rai. Kulihat Rai sedang duduk sendiri dipojok ruang restoran favoritnya, lalu saya berjalan menghampirinya.
“Permisi Mas, apa bangku ini kosong?”
Kulihat Rai dengan seksama dan saya berusaha untuk bersikap setenang mungkin, dengan menabar senyum manisnya dia mempersilahkan ku duduk.
“Perkenalakan, saya Ilhan, saya Rai senang berkenalan denganmu Ilhan.” Dia membalas jabat tanganku.
***
Selama saya menyamar menjadi Ilhan, saya sedikit lebih tahu tentangnya. Siang itu dimana udara terasa lebih sejuk setelah pagi harinya diguyur hujan saya berjanji untuk bertemu dengannya di restoran favorit kami, setelah saya merasa penyamaranku telah sempurna saya bergegas menuju ke tempat pertemuan. Setibanya disana kulihat Rai sudah datang, dia melambaikan tangannya langsung kubalas lambaiannya.
“Sorry agak telat jalan macet maklum habis hujan, sudah nunggu lama?”
“Belum, kebetulan aku juga baru datang.”
“Hari ini kamu tampak senang, apa yang membuatmu senang katakana padaku Rai, pinta ku.”
“Yang membuatku senang adalah mulai hari ini dan selamanya kita akan sering bertemu, jujur aku kagum dengan pesonamu dan tutur katamu, kadang kau membuatku bergetar sampai - sampai aku harus bisa menahan diriku.” Sambil memegang tanganku dia berkata mesra, mendengar perkataan mesranya membuatku merinding dan aku harus bisa menenangkan diriku didepannya.
Kami bercengkrama cukup lama, saat kami akan pergi tiba – tiba Rai berbisik padaku.
“Ada yang ingin kusampaikan padamu, apa? Katakan saja aku ingin mendengarnya.”
Dia berbicara sangat dekat, dan menaruh salah satu tangannya dipunggungku, dan yang satunya memegang tanganku lalu dikecupnya.
“Aku tahu didalam tubuhmu ada jiwa istriku, dari caramu bersikap ada satu kebiasaanmu yang tidak hilang saat kau gugup istriku yang cantik.”
Dengan suara sedikit bergetar saya berkata “maksud mu apa? Aku sungguh tidak mengerti.”
“Yang hanya perlu kau mengerti adalah aku lebih merasa bergairah saat kau menjadi Ilhan daripada dirimu yang sebenarnya.”
Bagai dihantam Godam saya hanya bisa duduk diam tidak bergerak, saya berusaha untuk tetap tenang namun tubuhku semakin bergetar saat kulihat senyum tanda kemenangannya. Saya hanya bisa diam seribu bahasa, hatiku semakin hancur , “Ya Allah betapa bodohnya hambaMu ini, selama ini aku percaya dengan janji manisnya.”
“Aku tunggu kamu malam ini Ilhan dirumahku atau kamu ingin kita bercengakrama lebih leluasa dihotel, kalau kamu mau aku akan segera pesan kamar untuk kita berdua.”
“Dihotel saja, pintaku.” “Baiklah kalau begitu, setelah aku pesan , aku segera mengontak mu, aku ingin memberimu kejutan yang special.” Tanpa rasa canggung lagi dia mengecup leherku dengan penuh gairah, yang membuatku semakin muak dengan segala tingkah lakunya. Dia sudah tidak menganggap diriku sebagai istrinya lagi.
“Aku pergi dulu, rasanya aku sudah tidak sabar dengan pertemuan kita nanti malam, Ilhan sayang, aku ingin malam ini kamu senang dan aku siap menjadi budakmu selamanya.”
Dengan menahan air mataku yang ingin keluar ku berkata “ Aku juga sudah tidak sabar.”
***


Hari ini bagiku seperti mimpi buruk yang tidak mau melepasku dari cengkramannya. Sesampainya ku dirumah, saya langsung mengepak barang – barangku, sudah kuputuskan saya harus pergi ketempat yang jauh dimana Rai beserta keluarganya tidak dapat menemukan keberadaan diriku, kutinggal HP dan kartu kredit pemberiannya. Jauh dari yang kubayangkan sebelumnya bahwa sesungguhnya saya sama sekali tidak mengenal siapa suamiku sebenarnya. Mulai saat ini saya bertekad harus bisa lepas dari cengkramannya, selamanya bagaimanapun caranya akan kupertaruhkan untuk mendapatkan kebebasanku.

By : Yulinda kumara Ramandini